
Latar belakang
Virus SARS-CoV-2, virus RNA yang muncul di Wuhan, China pada Desember 2019 dan kini telah menyebar ke seluruh wilayah di dunia (Wu dan McGoogan, 2020). Pada 10 April 2020, lebih dari 1,5 juta kasus telah dilaporkan dengan lebih dari 100.000 kematian. Penelitian intensif tentang obat dan vaksin untuk mengobati atau mencegah Covid-19 sedang dilakukan kelompok penelitian yang berbeda. Kelompok penelitian tersebut menguraikan aspek yang berkaitan dengan mekanisme kerja obat ini. Remdesivir, dalam mengobati infeksi virus RNA dan peran potensinya dalam mengendalikan infeksi SARS-CoV-2.
Ilmuwan Indonesia, Prof. Dr. Taruna Ikrar MPharm Ph.D mengungkapkan, Amerika Serikat berhasil menemukan obat penyembuh virus Corona atau Covid-19. Dokter ahli farmakologi dan member American Collage of Clinical Pharmacology tersebut mengatakan, penemuan tersebut melalui ujicoba pemberian obat Remdisivir dan Hydroxy Chloroquine ke pasien penderita virus Corona. Khususnya di Amerika Serikat, penularan virus Corona terjadi sangat cepat dan telah mewabah ke seluruh penjuru negeri, mencakup 50 negara bagian, dengan episentrum Covid-19 di Kota New York.
Saat ini ada 2 jenis obat yang sedang mengalami uji coba (Clinical Trials) yaitu, Remdesivir vs Hydroxy Chloroquine. Program uji klinis remdesivir dirancang untuk menjawab beberapa pertanyaan ilmiah secara paralel, untuk mengevaluasi dengan cepat potensi remdesivir untuk mengobati pasien COVID-19.
Uji Coba Gilead, Gilead sedang melakukan dua studi klinis Fase 3 acak, label terbuka, multisenter, untuk mengevaluasi keamanan dan kemanjuran dua durasi dosis 5 hari dan 10 hari – remdesivir pada orang dewasa yang didiagnosis dengan COVID-19.
Yang pertama dari dua studi mengevaluasi keamanan dan kemanjuran durasi qq2remdesivir 5 hari dan 10 hari, pada pasien dengan COVID-19 parah. Penelitian ini awalnya melibatkan 400 pasien dan kemudian mengizinkan pendaftaran 5.600 pasien tambahan, termasuk mereka yang menggunakan ventilasi mekanis, dalam fase perluasan penelitian. Hasil topline dari fase studi awal diumumkan pada 29 April, dan hasil lengkap dari fase awal dipublikasikan di The New England Journal of Medicine pada 27 Mei. Data dari fase perluasan studi diharapkan dalam waktu dekat.
Studi kedua mengevaluasi keamanan dan kemanjuran rejimen takaran 5 hari dan 10 hari dari remdesivir, dibandingkan dengan perawatan standar saja, pada pasien dengan COVID-19 sedang. Penelitian ini awalnya mendaftarkan 600 pasien dan kemudian mengizinkan pendaftaran 1.000 pasien tambahan dalam fase perluasan penelitian. Hasil topline dari tahap studi awal diumumkan pada 1 Juni.
Secara total, 397 pasien menjalani pengacakan dan memulai pengobatan (200 pasien selama 5 hari dan 197 selama 10 hari). Durasi median pengobatan adalah 5 hari (kisaran interkuartil, 5 sampai 5) pada kelompok 5 hari dan 9 hari (kisaran interkuartil, 5 sampai 10) pada kelompok 10 hari. Pada awal, pasien yang secara acak dimasukkan ke dalam kelompok 10 hari memiliki status klinis yang jauh lebih buruk daripada yang dimasukkan ke dalam kelompok 5 hari (P = 0,02). Pada hari ke-14, peningkatan klinis 2 poin atau lebih pada skala ordinal terjadi pada 64% pasien dalam kelompok 5 hari dan pada 54% pada kelompok 10 hari. Setelah penyesuaian untuk status klinis dasar, pasien dalam kelompok 10 hari memiliki distribusi status klinis pada hari ke-14 yang serupa dengan di antara pasien dalam kelompok 5 hari (P = 0,14). Efek samping yang paling umum adalah mual (9% pasien), memburuknya gagal napas (8%), peningkatan kadar alanine aminotransferase (7%), dan sembelit (7%).
Pengertian Remdesivir

Remdesivir (GS-5734) adalah analog nukleosida yang menghambat RNA polimerase yang bergantung pada RNA (RdRP), enzim digunakan oleh banyak virus RNA untuk mereplikasi (Siegel et al., 2017). Ketika RNA virus dimasukkan ke dalam untai baru, itu menyebabkan penghentian rantai. Bentuk monofosfat adalah prodrug, dan dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat aktif di dalam host. Remdesivir, memiliki spektrum aktivitas in vitro yang luas terhadap virus yang tergolong RNA Filoviridae (virus Ebola dan Marburg), Paramyxoviridae (virus Nipah dan Hendra), Pneumoviridae dan Keluarga Coronaviridae (Lo et al., 2017; Brown et al., 2019). Resistensi virus jarang terjadi, karena obat tersebut mampu melakukannya melebihi aktivitas membaca bukti dan dengan demikian mempertahankan aktivitas antivirusnya (Agostini et al., 2018). Itu datang sebagai infus persiapan, dan karena memiliki waktu paruh yang lama, dapat diberikan sekali sehari.
Remdesivir (kode pengembangan “GS-5734”) adalah obat antivirus, sebuah prodrug analog nukleotida baru, yang dikembangkan oleh perusahan bioteknologi Gilead Sciences sebagai pengobatan untuk infeksi penyakit virus Ebola dan virus Marburg. Obat ini juga ditemukan memiliki aktivitas antivirus yang wajar terhadap virus yang terkait seperti virus pernapasan respirasi, virus Junin, virus demam Lassa, dan virus kor-MERS.
Ketika Wabah virus Ebola di Afrika Barat merebak tahun 2013-2016, remdesivir segera didorong untuk menjalani uji klinis, yang akhirnya digunakan setidaknya kepada satu pasien manusia, meskipun remdesivir baru dalam tahap awal pengembangan pada saat itu. Hasilnya cukup menjanjikan, dan digunakan secara darurat ketika merebak Wabah Ebola Kivu 2018–2019 sambil dilakukan uji klinis lebih lanjut, hingga Agustus 2019, ketika pejabat kesehatan Kongo mengumumkan bahwa remdesivir tidak efektif dibandingkan dengan obat lainnya seperti mAb114 dan obat dari Regeneron Pharmaceuticals yang memproduksi REGN3470-3471-3479 (kemudian disebut REGN-EB3).
Dalam beberapa minggu terakhir, baik Organisasi Kesehatan Dunia dan beberapa pemimpin dunia telah menunjukkan antusiasme untuk menggunakan obat ini pada pasien Covid-19. Baru-baru ini, perusahaan mencabut status penunjukan obat Orphan FDA untuk Remdesivir. Misalnya penunjukan, akan memungkinkan eksklusivitas pasar oleh perusahaan selama tujuh tahun.
Penggunaan Remdesivir

Remdesivir merupakan antivirus yang memiliki spektrum luas dan sempat diteliti untuk mengatasi Ebola, MERS, dan SARS. Sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar efektif untuk mengatasi infeksi virus Corona atau COVID 19. Sejumlah obat termasuk remdesivir sedang diteliti lebih lanjut untuk memastikan efektivitas dan keamanannya dalam mengatasi infeksi virus ini.
Remdesivir merupakan obat antivirus analog adenosin. Pada penelitian in vitro dan penelitian pada model hewan, remdesivir menunjukkan aktivitas antivirus spektrum luas melawan beberapa virus seperti virus ebola (EBOV), Middle East respiratory syndrome (MERS-CoV), dan severe acute respiratory syndrome (SARS-CoV-1), dan COVID-19 (SARS-CoV-1).
Pada tanggal 1 Mei 2020, FDA memberikan Emergency Use Authorization untuk penggunaan Remdesivir. Hal ini berbeda dengan persetujuan FDA (FDA approval). Melalui Emergency Use Authorization ini, komisioner FDA mengizinkan obat yang belum disetujui untuk digunakan pada kondisi emergensi, saat belum ada alternatif obat lain yang tersedia atau terbukti adekuat.
Diproduksi oleh Gilead Science, remdesivir merupakan obat pertama yang mendapat izin darurat dari FDA (BPOM AS) untuk digunakan pada pasien Covid-19. Dalam percobaan yang dilakukan awal tahun ini, pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit dan menerima obat tersebut pulih dalam 11 hari, lebih cepat empat hari dibandingkan pasien yang menggunakan plasebo. FDA menanggapi data ini pada Mei 2020 dengan mengeluarkan otorisasi darurat untuk penggunaan remdesivir pada pasien sakit kritis yang membutuhkan oksigen tambahan.
Remdesivir untuk terapi untuk penderita Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) yang sudah terkonfirmasi. Obat ini diindikasikan untuk pasien dewasa dan anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 berat. Definisi COVID-19 berat adalah pasien dengan saturasi oksigen (SpO2) ? 94% pada room air yang membutuhkan suplementasi oksigen, ventilasi mekanik, atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
Pada Agustus 2020, mereka memperluas persetujuan itu setelah para peneliti menemukan pasien dengan Covid-19 yang tidak terlalu parah tampaknya mendapat manfaat dari pengobatan remdesivir selama lima hari. Kendati demikian, izin tersebut telah mendapat kritikan dari beberapa ahli yang mengklaim tak ada bukti kuat untuk mengeluarkan izin secara luas. Di Indonesia, obat remdesivir akan segera didistribusikan oleh anak perusahaan Hetero yang bernama PT Amarox Pharma Global berkolaborasi dengan PT Kalbe Farma dalam waktu dekat.
Efek Samping Remdesivir

Efek samping Remdesivir di antaranya berupa diare, peningkatan enzim hepatik, cedera ginjal akut, pneumotoraks, acute respiratory distress syndrome (ARDS), hipernatremia, demam, syok septik, hematuria, dan delirium. Penggunaan remdesivir bersamaan dengan penginduksi kuat CYP3A4, seperti obat rifampisin, fenitoin, dan karbamazepin dapat mengurangi kadar remdesivir sehingga sebaiknya tidak diberikan secara bersamaan.
Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan remdesivir bisa terjadi pada berbagai organ. Dari data non-klinik, terdapat risiko rendah untuk terjadinya efek samping pada susunan saraf pusat, pernapasan, dan kardiovaskular pada perkiraan kadar terapi untuk manusia. Secara keseluruhan, efek samping yang terjadi di antaranya:
- Gastrointestinal : diare (9%), peningkatan enzim hepatik transaminase (23%)
- Ginjal: renal impairment (8%), acute kidney injury (6%)
- Kardiovaskuler : hipotensi (8%), atrial fibrilasi (6%), deep vein thrombosis (6%)
- Respirasi : pneumotoraks (4%), acute respiratory distress synd rome (4%)
- Gangguan elektrolit : hipernatremia (6%)
- Lain-lain : demam (4%), syok septik (4%), hematuria (4%), delirium (4%)
Suatu penelitian klinis pada kasus COVID-19 meneliti mengenai penggunaan remdesivir selama 10 hari dengan dosis 200 mg intravena pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 100 mg intravena selama 9 hari setelahnya. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa dari 53 subjek terdapat 32 subjek yang mengalami efek samping, dan lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Sebanyak 12 subjek (23%) mengalami efek samping serius, seperti multiple organ dysfunction syndrome, syok sepsis, cedera ginjal akut, dan hipotensi.
Negara yang sudah menggunakan Remdesivir sebagai obat Covid-19

Analog nukleosida adalah kategori obat penting yang termasuk dalam kelompok agen antivirus yang sudah digunakan untuk pengobatan efektif infeksi HIV, virus hepatitis B, virus hepatitis C, virus herpes simpleks dan infeksi varicella-zoster. Remdesivir adalah analog nukleosida yang membatasi replikasi virus di dalam tubuh, baik dengan menghalangi enzim RNA polimerase atau dengan memutus rantai RNA (rantai genetik) virus. Analog nukleosida lain yang telah disetujui untuk pengobatan pasien COVID-19 adalah favipiravir.
Sejauh ini, sesuai dengan administrasi makanan dan obat AS (FDA) dan Drug Controller General of India (DCGI), telah mengizinkan penggunaan obat ini untuk pengobatan infeksi COVID-19 yang dicurigai atau dikonfirmasi laboratorium pada orang dewasa dan anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit parah. Saat ini, obat tersebut digunakan sebagai pengobatan eksperimental dan masih dalam uji coba untuk membuktikan kemanjurannya terhadap virus SARS-CoV-2.
Dikutip dari berbagai sumber, tidak hanya Indonesia, beberapa negara ini juga setujui penggunaan remdesivir untuk obati pasien virus Corona.
1. Amerika Serikat
Beberapa waktu lalu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) di Amerika Serikat (AS) saat ini memang belum menyetujui obat apa pun untuk pengobatan virus Corona. Tetapi mereka berencana untuk menyetujui remdesivir sebagai pengobatan untuk pasien virus COVID-19.
“Sebagai bagian dari komitmen FDA untuk mempercepat pengembangan dan ketersediaan pengobatan COVID-19 yang potensial, agensi tersebut sedang berdiskusi dengan Gilead Sciences mengenai pembuatan remdesivir agar tersedia untuk pasien secepat mungkin, sebagaimana diperlukan,” ucap juru bicara FDA, Michael Felberbaum.
Pada percobaan awal, penggunaan remdesivir menunjukkan tingkat pemulihan yang lebih cepat pada pasien yaitu dari 15 hari bisa menjadi 11 hari. Hal ini mirip dengan efek tamiflu terhadap penyakit flu, karena obat itu dapat menyembuhkan pasien lebih cepat.
“Data menunjukkan bahwa remdesivir memiliki dampak positif yang jelas signifikan dalam waktu pemulihan,” ucap Dr Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID).
2. Jepang
Setelah uji klinis di Amerika Serikat (AS) dinilai berhasil obati Corona dan mendapatkan persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA). Pemerintah Jepang pun menyetujui penggunaan remdesivir pada Kamis (7/5/2020).
Hal ini menjadi negara kedua yang menggunakan remdesivir sebagai obat Corona.”Remdesivir disetujui berdasarkan tindakan luar biasa,” kata seorang pejabat Kementerian Kesehatan Jepang, dikutip dari Channel News Asia Jumat (8/5/2020).
“Itu adalah persetujuan pertama negara kami untuk perawatan pasien coronavirus,” kata pejabat itu kepada AFP.
Hingga kini Kamis (1/10/2020), Jepang mencatat 83.010 kasus COVID-19 dengan 1.564 kematian. Sebagian besar pasien telah sembuh dan hanya tersisa 5.421 kasus aktif.
3. Singapura
Remdesivir juga digunakan di Singapura untuk mengobati pasien virus COVID-19. Otoritas Kesehatan Singapura (HSA) pada hari Rabu (10/6/2020) lalu memberikan persetujuan bersyarat untuk obat eksperimental dari Gilead Sciences remdesivir untuk mengobati infeksi virus Corona COVID-19, menurut pernyataan resmi.
Pemerintah Singapura mengatakan walaupun data tentang keamanan dan kemanjuran remdesivir “sangat terbatas”. HSA mempercepat tinjauan remdesivir yang diberikan pada pasien Corona. Persetujuan Singapura untuk penggunaan bersyarat mengikuti langkah-langkah serupa yang diambil oleh negara-negara seperti AS, di mana Food and Drug Administration (FDA) memberikan otorisasi darurat remdesivir pada 1 Mei. Jepang, di mana obat itu diberikan persetujuan darurat untuk digunakan pada 7 Mei. India pada 1 Juni, dan Inggris.
4. Taiwan
Pemerintah Taiwan pada Sabtu (30/5/2020) lalu mengatakan menyetujui penggunaan remdesivir untuk mengobati pasien virus Corona COVID-19. Pusat Komando Epidemi Taiwan (CECC), menyebutkan Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Taiwan mempertimbangkan fakta bahwa keamanan remdesivir telah didukung oleh bukti awal dan penggunaannya disetujui oleh sejumlah negara lain. Atas dasar itu, CECC berpendapat bahwa persyaratan telah terpenuhi bagi persetujuan penggunaan remdesivir pada pasien infeksi COVID-19 yang dalam kondisi yang parah. Hingga kini Kamis (1/10/2020), Taiwan mencatat 515 kasus COVID-19 dengan tujuh kematian. Sebagian besar pasien telah sembuh dan hanya tersisa 24 kasus aktif.
5. Korea Selatan
Mengutip dari CNA, Pada Rabu (3/6/2020), Korea Selatan (Korsel) mengizinkan penggunaan darurat obat remdesivir untuk pengobatan pasien Corona.
“Remdesivir membantu mengurangi jumlah virus Corona dalam tubuh pasien,” kata Kementerian Keamanan Pangan Korsel. “Ini bisa membuat kondisi pasien pulih lebih cepat,” lanjutnya.
Di bawah pedoman yang dikeluarkan pemerintah Korsel, dokter dapat memberikan satu dosis remdesivir dalam sehari, dengan lima dosis untuk pasien dengan gejala sedang, dan sepuluh dosis untuk pasien dengan gejala berat. Namun, tak semua pasien bisa diberikan remdesivir. Sebelum diberikan obat tersebut, pasien harus menjalani tes fungsi hati terlebih dahulu. Sebab, penggunaan remdesivir dapat memberikan efek samping berupa peningkatan kadar enzim dalam hati.
6. Inggris
Mengutip dari laman BBC, Sekretaris Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan perkembangan remdesivir adalah langkah maju terbesar dalam pengobatan virus Corona COVID-19 sejak wabah ini dimulai. Remdesivir adalah obat yang telah digunakan melawan untuk Ebola.
Regulator Inggris mengatakan ada cukup bukti untuk menyetujui penggunaannya pada pasien Corona. Meski begitu karena persediaan terbatas, remdesivir khusus ditujukan bagi pasien Corona yang diprioritaskan.
Daftar Pustaka
dr.Reni Widyastuti, S. (n.d.). https://www.alomedika.com. Retrieved from Alomedika: https://www.alomedika.com/obat/antiinfeksi/antivirus/remdesivir
Dzulfaroh, A. N. (2020, Oktober 03). https://www.kompas.com. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/03/160500665/covid-19-pengobatan-donald-trump-dan-penggunaan-remdesivir-?page=all
Gilead.com. (2020, October 01). https://www.gilead.com. Retrieved from Gilead.com: https://www.gilead.com/purpose/advancing-global-health/covid-19/remdesivir-clinical-trials
Pane, d. M. (2020, Maret 31). https://www.alodokter.com. Retrieved from Alodokter.com: https://www.alodokter.com/remdesivir
Septiani, A. (2020, Oktober 01). https://health.detik.com. Retrieved from Detik Health: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5196192/selain-indonesia-6-negara-ini-juga-pakai-remdesivir-untuk-obat-covid-19
Tribun Timur.com. (2020, April 20). https://www.google.com/amp/s/makassar.tribunnews.com. Retrieved from Tribun Timur.com: https://www.google.com/amp/s/makassar.tribunnews.com/amp/2020/04/20/kabar-gembira-ilmuwan-indonesia-di-amerika-temukan-obat-penyembuh-covid-19-lewat-ujicoba-remdisivir
Widiyani, R. (2020, Oktober 03). https://health.detik.com. Retrieved from Detik Health: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5198204/remdesivir-begini-cara-pakai-dan-efek-sampingnya
Wikipedia.org. (2020, Mei 22). https://id.m.wikipedia.org. Retrieved from Wikipedia.org: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Istimewa:History/Remdesivir