PENGERTIAN OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA

Istilah Omnibus Law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, pada Minggu (20/10/2019). Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Saat itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi Omnibus Law. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM.

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Omnibus Law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus akhirnya terwujud melalui pengesahan UU Cipta Kerja. Dalam pidatonya seusai pelantikan, Presiden Jokowi menyoroti tumpang tindih pada berbagai regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi menyampaikan niatnya untuk mengajak DPR menyusun omnibus law, sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU. Tidak lama setelah pidato itu, Presiden Jokowi langsung memerintahkan jajarannya untuk membuat draf omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Saat penyusunan draf masih berjalan di tingkat pemerintah, Presiden Jokowi bahkan sudah menyampaikan harapannya ke DPR agar bisa merampungkan pembahasan RUU ini dalam 100 hari.

Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal. (Idris, 2020)

Dengan kata lain, Omnibus Law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Konsep Omnibus Law yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi banyak berkaitan dengan bidang kerja pemerintah di sektor ekonomi.

UU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, terdapat tiga UU yang siap diundangkan, antara lain UU tentang Cipta Kerja, UU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. (Rizal, 2020)

TUJUAN PEMBUATAN UU CIPTA KERJA

a. Bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

b. Bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja

c. Bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan 2 kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan

d. Bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektoral yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu UndangUndang secara komprehensif

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta Kerja

PASAL PADA UU CIPTA KERJA YANG MENJADI SOROTAN

PEMBAHASAN POIN 1 :

ATURAN PENGUPAHAN DIGANTI (PASAL 88)

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

SANKSI TIDAK BAYAR UPAH DIHAPUS (PASAL 91)

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

KESIMPULAN

Penghapusan adanya UMK, yang digantikan dengan UMP. Akan tetapi, jika nantinya upah ini disesuaikan dengan jam kerja maka UMP ini tidak akan digunakan.

PEMBAHASAN POIN 2 :

SANKSI TIDAK BAYAR UPAH DIHAPUS (PASAL 91)

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

KESIMPULAN

            Bahwa adanya perubahan dari UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, dapat secara langsung merugikan pekerja dalam hal penerimaan upah. Sebagaimana dalam Pasal 95 ayat 2 dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja disebutkan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.

PEMBAHASAN POIN 3 :

HAK MEMOHON PHK DIHAPUS (PASAL 169)

UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.

KESIMPULAN

            Hal-hal mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja terdapat hal-hal yang merugikan pihak pekerja, yakni :

  1. Persyaratan pemutusan hubungan kerja

UU CIPTA KERJA

Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan

b. perusahaan melakukan efisiensi

c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian

d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

f. perusahaan pailit                

g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri

i. pekerja/buruh mangkir

j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib

l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan

m. pekerja/buruh memasuki usia pensiunatau

n. pekerja/buruh meninggal dunia.

(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UU KETENAGAKERJAAN

Pasal 156 ayat 1 : Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

  1. Pemberian Pesangon

UU CIPTA KERJA

Menghapus pasal 161 namun tidak membahas tentang ketentuan perolehan pesangon setelah sp3

UU KETENAGAKERJAAN

(1)  Pasal 161 : Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

PEMBAHASAN POIN 4 :

KONTRAK TANPA BATAS (PASAL 59)

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

HARI LIBUR DIPANGKAS (PASAL 79)

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

KESIMPULAN

UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

PEMBAHASAN POIN 5 :

TENAGA KERJA ASING

  1. UU Ketenagakerjaan

Pasal 42 ayat 1 UUK menyatakan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 43 ayat 1 Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 44 ayat 1; Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

  1. UU Cipta Kerja

Dalam RUU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana penggunaan TKA

Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan.

Pasal 44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus.

KESIMPULAN

Dengan tidak adanya kewajiban bagi warga negara asing untuk memahami budaya Indonesia tentunya ini akan membuat budaya Indonesia kurang eksis. Akan tetapi hal ini akan memberikan ruang bagi kemudahan izin TKA untuk keperluan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, star-up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. Artinya TKA yang bekerja untuk star-up tidak memerlukan pengesahan rencana dan izin dari Pemerintah. Bagaimana dengan star-up yang dijadikan harapan anak-anak millennial bekerja, ternyata akan diisi oleh TKA.

Daftar Pustaka

Idris, M. (2020, September 5). Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya. Retrieved from Kompas.com: https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/money/read/2020/10/05/102200626/mengenal-apa-itu-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dan-isi-lengkapnya

Rizal, J. G. (2020, September 6). Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh? Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/06/104500965/apa-itu-omnibus-law-cipta-kerja-isi-dan-dampaknya-bagi-buruh?page=all

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *